Jumat, Oktober 16, 2009

Kesehatan Mental Sang Pemulung Cilik

Di sebuah jalan di Pekayon, Bekasi Selatan terdapat beberapa pemulung yang bertenaga-kerjakan anak-anak (7-12 tahun). Canda tawa, senyum ceria, harus terbayar dengan beratnya beban dengan memungut gelas demi gelas air mineral yang berserakan di jalan-jalan. Entah apa yang terbesit di dalam benak anak itu bila disinggung masalah cita-cita atau keinginan kecil namun tak terwujud. Apakah dia puas menjalankan ini semua ? Mengapa dia tidak memberontak untuk dapat maju mewujudkan keinginannya ? Bagaimana dengan kesehatan mental dia dalam menjalankan pekerjaan tak layak tersebut dan keinginan yang terpendam dalam benaknya ? Saya mencoba untuk memecahkan persoalan yang mengusik pikiran dan keingintahuan baik saya maupun orang lain.

Saya menemukan seorang anak berjenis kelamin laki-laki, berumur 9 tahun atau setara dengan kelas 4 Sekolah Dasar (SD); sebut saja Bakti. Bakti adalah anak pertama dari dua bersaudara. Adiknya perempuan ikut memungut sampah namun di tempat yang berbeda dengan Bakti. Disebutkan Bakti, ayahnya menyewakan jasa mengantarkan orang demi orang ke tempat tujuan dengan menggunakan motor atau yang biasa disebut ojek. Ibunya mengalami sakit parah dirawat di rumah dengan keadaan rumah yang tak layak tinggal ditambah dengan obat seadanya bahkan Bakti pernah menemukan sebuah obat tablet dan memberikan kepada ibunya dengan harapan agar ibunya membaik, namun Bakti sendiri tak tahu apakah obat tersebut masih layak untuk dikonsumsi.

Bakti mempunyai suatu keinginan sederhana namun belum dapat dia wujudkan. Bakti ingin sekali sekolah seperti dahulu, yang pernah mengenyam di bangku sekolah hanya sampai kelas 2 SD. Begitu miris Bakti mengalah untuk berhenti sekolah karna uang yang telah tersedia untuk kepentingan sekolah dialihkan membayar sewa tanah rumah seharga seratus ribu rupiah sebulan dan membeli obat ibunya. Ibu Bakti mengidap penyakit telah bertahun-tahun lamanya. Namun Bakti dan ayah telah pasrah bilamana nanti ibu akan dipanggil Sang Khalik dari penyakit yang di idapnya. Suatu harapan kecil dari perkataan Bakti, “Aku pengen sekolah, mbak. Biar bisa bantu emak dan bapak biar kaga ditipu orang mulu, mbak.”. Dikarenakan orang tua bakti pernah ditipu karena menandatangani suatu surat yang ternyata isinya adalah penggusuran rumah akibat dari ketidakbisanya orang tua Bakti dalam membaca.

Dalam kesehariannya, hubungan dengan ayahnya sangatlah renggang, ayahnya hampir tidak pernah mengajarkan untuk sholat karna Bakti memeluk agama Islam, Syamsu Yusuf (Dosen UPI) dalam artikelnya yang berjudul ”Mengembangkan kesehatan mental berbasis keluarga” menyatakan bahwa agama memberikan petunjuk tentang tugas dan fungsi orang tua dalam merawat dan mendidik anak, agar dalam hidupnya berada dalam jalan yang benar, sehingga terhindar dari malapetaka kehidupan, baik di dunia ini maupun di akhirat kelak (kandungan Alquran, Surat Attahrim:6). Dilihat dari pengertian kesehatan mental, pertama yaitu dalam suatu keluarga harus adanya keberfungsian dalam keluarga; orang tua sangat berpengaruh dalam tiap input yang diterima anak dari lingkungan luar keluarga, seperti internalnya (moralitas, fisik, psikis) dan eksternalnya (social-budaya). Yang kedua, adanya hubungan orang tua – anak. Dalam hal ini, harus adanya peraturan agar anak dapat bersikap seperti usianya, orang tua memberikan penggambaran akibat pabila anak melakukan kesalahan pada masyarakat, dapat bertanggung jawab atas apa yang telah dilakukannya. Namun Bakti dan keluarganya bisa saya katakan bahwa kesehatan mental dalam keluarga tersebut tidak sehat. Bila dibaca dari awal hingga penjelasan-penjelasan yang saya utarakan dalam tulisan ini. Kesehatan mental dilihat dari bagaimana hubungan kedekatan dan timbal-balik orangtua ke anak begitu sebaliknya.

Di tambah lagi dengan kemiskinan dapat membahayakan perkembangan anak melalui pengaruhnya terhadap kondisi esmosional orang tua dan praktik pengasuhan anak dan pada lingkungan rumah yang mereka ciptakan (Brooks-Gunn & Duncan, 1997; Brooks-Gunn et al., 1998). Orang tua yang hidup dalam rumah kumuh (atau tanpa rumah), yang kehilangan pekerjaan mereka cenderung menjadi cemas, tertekan, dan lekas marah. Mereka menjadi kurang mengasihiterhadap anak-anak mereka. Cara pendisiplinannya secara konstan, kasar, & berlebihan. Cenderung mengabaikan perilaku yang baik dan hanya memperhatikan perilaku yang salah. Dampaknya, anak cenderung tertekan, kesulitan bermain bersama teman sebaya, kurang percaya diri, memiliki masalah perilaku, dan terlibat dalam tindakan antisocial (Brooks-Gunn et al., 1998; McLoyd, 1990, 1998; Mistry et al., 2002).

Keluarga yang berada dalam ekonomi sulit memiliki kecenderungan yang lebih rendah dalam mengontrol aktivitas anak-anak mereka, dan kurangnya monitor tersebut berkaitan dengan prestasi sekolah dan penyesuaian social yang lebih buruk (Bolger, Patterson, Thompson, & Kupersmidt, 1995)
Ketika sang ayah merasa gagal bertugas sebagai sumber nafkah, demoralisasinya akan mengalahkan peran keayahannya dan memengaruhi secara negative hubungannya dengan sang anak. (Doherty et al., 1998)

By. Chyntia Harli 10508045
http://amanui.wordpress.com/2007/12/21/kesehatan-mental-anak/

Tidak ada komentar:

Tentang Chy

Foto saya
Chyntia Harli Berjilbab Kelahiran 1990 & Ship Kuda @ChynHrl Facebook.com/chyntia.harl