Jumat, Maret 26, 2010

Kelas campuran cocok atau tidak cocok bagi orang penyandang autisme ?

Konsep kelas campuran dalam pendidikan khusus telah berubah secara radikal di Flanders beberapa tahun terakhir ini. Sekitar 10 tahun yang lalu, orang mendapati bahwa anak-anak penyandang autisme ditempatkan dalam satu kelas yang diperuntukan bagi anak-anak terbelakang bukan anak penyandang autisme. Ini dianggap sebagai kelas campuran. Anak-anak penyandang autisme harus menyesuaikan diri dengan kurikulum pengajaran teruntuk anak-anak keterbelakangan mental. Hal tersebut tentu membuat kesulitan bagi penyandang autisme. Hal ini terbukti sangat sulit kalau tidak mau dikatakan tidak mungkin. Kalau para pengajar mengatakan hal itu berjalan dengan baik, biasanya mereka sendiri dan bahwa tidak ada masalah perilaku buruk yang terjadi. Tapi biasanya tidak ada ruang bagi sebuah persiapan yang benar-benar terindividualisasi untuk menghadapi masa dewasa nanti.

Karena hal itu, kelas campuran di ubah. Bahkan jika hanya ada dua anak penyandang autisme di sekolah tertentu, kelasnya sering disiapkan dengan perhitungan ketat untuk memenuhui kebutuhan-kebutuhan khusus anak-anak autis tersebut. Karena merupakan siswa yang paling lemah dan rentan, bagi mereka juga disediakan sebuah kelas khusus di mana mereka dapat merasa aman. Anak-anak yang lain juga mendapatkan keuntungan dengan peraturan itu. Orang berfikir bahwa ada anak-anak lainnya di sekolah yang belum didiagnosa sebagai autistik tapi memiliki kekurangan yang sama (sebagai contoh, anak-anak yang juga mendapatkan kesulitan dalam menganalisa makna) dan mereka juga mendapatkan keuntungan dari strategi pendidikan ini. Kombinasi baru ini, di mana yang paling lemah tidak harus beradaptasi dengan metode dan kurikulum mengajar bagi yang paling kuat, memiliki lebih banyak kesempatan untuk berhasil.

Selama 10 tahun terakhir, telah ada kesadaran yang semakin besar bahwa anak-anak penyandang autisme benar-benar bisa mengalami kemajuan dalam kegiatan belajar yang diberikan jika disesuaikan dengan kelemahan khusus mereka. Mereka tidak hanya belajar beradaptasi dengan situasi, dalam hubungan satu orang berhadapan dengan satu orang, tapi juga dapat bekerja secara mandiri dan kadang-kadang dengan orang lain (jika sasaran pendidikan cukup terindividualisasi). Praktek juga telah membuktikan bahwa jenis pendidikan ini, yang lebih berfokus pada kejelasan visual, tidak hanya baik bagi anak-anak penyandang autisme tapi juga bagi anak-anak lain yang tidak benar-benar didiagnosa sebagai autistik.

Golongan retardasi (hambatan) mental dan gangguan belajar.

Dalam DSM-IV autisme ditempatkan dibawah kategori “gangguan perkembangan pervasi”, antara “retardasi mental” dan “gangguan perkembangan spesifik”.

Di bawah kategori ‘retardasi mental’, dapat dikatakan bahwa perkembangan menjadi lambat. Seseorang yang mengalami retardasi mental menjalani tahapan perkembangan yang sama seperti anda dan saya, tapi lebih lambat. Usia mentalnya selalu lenih rendah dari usia kronologinya.

Di bawah kategori ‘gangguan perkembangan spesifik’ kita dihadapkan pada perkembangannya yang lambat atau tidak normal pada suatu bidang kemampuan tertentu. Sebagai contoh dalam buku ini adalah seorang penderita disleksia memiliki satu kesulitan yang luar biasa dalam belajar. Meskipun itelegensinya normal, dia memiliki kesulitan yang tidak biasa dalam belajar membaca.

Bila ditemukan beberapa bidang ‘gangguan kualitatif’ maka merujuk pada ‘gangguan perkembangan pervasif’. Lalu gangguan pervasif, seperti autisme digolongkan diantara retardasi mental dan gangguan belajar. Karakteristik yang paling penting dari golongan gangguan perkembangan pervasif adalah terdapatnya ‘gangguan dominan yang terdiri dari kesulitan dalam pembelajaran keterampilan kognitif (pengertian), bahasa, motor (gerakan) dan hubungan kemasyarakatan’.

Penderita gangguan perkembangan pervasif dapat terbelakang secara mental pada saat yang sama, tapi ini berarti bahwa ada masalah lain yang tidak berhubungan dengan gangguan perkembangan pervasif. Kata “pervasif” menyatakan bahwa seseorang menderita kerusakan jauh di dalam, meliputi keseluruhan dirinya. Inilah masalah yang dihadapi para penyandang autisme.

Apa yang membuat hidup kita benar-benar berarti adalah berkomunikasi dengan orang lain, memahami perilaku mereka, menghadapi benda-benda, situasi, dan orang-orang dengan cara kreatif. Dalam ketiga bidang inilah para penyandang autisme menemui kesulitan terbesar dalam hidup mereka.

Ungkapan ‘gangguan pervasif’ merupakan cara yang lebih baik untuk menjelaskan apa yang terjadi pada diri mereka dibanding sekedar kata ‘autisme’. Jika orang mengalami kombinasi kesulitan dalam perkembangan komunikasi, pemahaman dan imajinasi sosial, dan mengalami kesulitan-kesulitan spesifik dalam memahami apa yang mereka lihat dan dengar, maka sebutan ‘autistik’dalam batasan pengertian ‘menyisihkan diri’ bukanlah definis yang terbaik. Kesulitan mereka sebenarnya jauh lebih besar daripada karakteristik tunggal penarikan secara sosial ini.

Autisme sebagai Suatu Gangguan Perkembangan Pervasif

Apakah Autisme itu ? Berapa banyak penderitanya ?

Bagaimana kamu tahu seseorang menderita autisme ?

Dalam buku yang saya baca menyebutkan definisi gangguan autistik dalam DSM-IV (Diagnostic Statistic Manual, edisi ke-4, dikembangkan oleh American Psychiatric Association) (APA, 1994) yakni :

1. Gangguan kualitatif dalam interaksi sosial yang ditunjukan oleh paling sedikit dua diantara yang berikut ini :

a. Ciri gangguan yang jelas dalam penggunaan berbagai perilaku nonverbal (buku lisan) seperti kontak mata, ekspresi wajah, gestur, dan gerak isyarat untuk melakukan interaksi sosial.

Contoh : anak terkena autistik tidak dapat melakukan kontak mata dengan lawan bicaranya; ekspresi wajahnya di saat orang lain berbicara dengannya tidak ada.

b. Ketidakmampuan mengembangkan hubungan pertemanan sebaya yang sesuai dengan tingkat pengembangannya.

Maksudnya : anak terkena autistik yang sulit untuk berbicara dengan lawan bicaranya dan melakukan kontak mata dengan lawan bicara bahkan temannya mengalami kesulitan. Hal ini yang membuat kesulitan dalam hubungan pertemanan dengan sebayanya.

c. Ketidakmampuan turut merasakan kegembiraan orang lain.

Maksudnya : Ia tidak mengerti dan tidak mengetahui situasi dan kondisi yang dialami oleh sekitarnya; keluarganya. Yang ia tahu hanya dirinya sendiri.

d. Kekuranganmampuan dalam berhubungan emosional secara timbal-balik dengan orang lain.

Maksudnya : anak autistik mengalami kesulitan untuk merasakan dan melakukan secara emosional dengan sekitarnya.

2. Gangguan kualitatif dalam berkomunikasi yang ditunjukan oleh paling sedikit salah satu dari yang berikut ini :

a. Keterlambatan atau kekurangan secara menyeluruh dalam bahasa lisan (tidak disertai usaha untuk mengimbanginya dengan penggunaan gestur atau mimik muka sebagai cara alternatif dalam berkomunikasi.)

b. Ciri gangguan yang jelas pada kemampuan untuk memulai atau melanjutkan pembicaraan dengan orang lain meskipun dalam percakapan sederhana.

c. Penggunaan bahasa yang repetitif (diulang-ulang) atau stereotype (meniru-niru) atau bersifat idiosenktratik (aneh).

d. Kurang beragamnya spontanitas dalam permainan pura-pura atau meniru orang lain yang sesuai dengan tingkat perkembangannya.

3. Pola minat perilaku yang terbatas, repetif, dan stereotip seperti yang ditunjukan oleh paling tidak satu dari yang berikut ini :

a. Meliputi keasyikan dengan satu atau lebih pola minat yang bersifat abnormal baik dalam intensitas maupun fokus.

b. Kepatuhan yang tampaknya didorong oleh rutinitas atau ritual spesifik (kebiasaan tertentu) yang nonfungsional.

c. Keasyikan yang terus-menerus terhadap bagian-bagian dari sebuah benda.

Tentang Chy

Foto saya
Chyntia Harli Berjilbab Kelahiran 1990 & Ship Kuda @ChynHrl Facebook.com/chyntia.harl